Awal Agustus Tour de Singkarak memeriahkan Sumatera
Barat.Iven tahunan itu seperti biasanya dinanti sebagian orang dan dirutuki
sebagian orang lainnya.Tapi,kali ini kita tak membicarakan itu karena koran dan
media sosial sudah terlalu banyak membahasnya.Aku hanya ingin membahas tentang
sebuah kesadaran.
Pagi menjelang siang itu,aku dan Ariq ke pasar membeli kado
untu adik Sa’ad yang akan datang dari Padang Panjang.Ternyata bertepatan momen
pesepeda TdS menuju Kota Pariaman.Entah kenapa,tahun ini aku cuek
beibeh.Biasanya aku paling antusias mengikuti jadwalnya.Kapan dan kemana
rutenya dan siapa pemenang tiap etapenya.Kali ini agak-agak malas gitu.Dan secara tak sengaja aku malah terjebak di
dalamnya.maksudnya,terjebak gak bisa pulang,hihi.
Kenapa begitu?karena saat kami menuju pasar,jalan
lempang-lempang saja.Tau lempang?itu artinya lurus dalam bahasa Sidikalang.
Nah,sesudah belanja...alamak...jalan pun ditutup karena
pesepeda akan lewat.Infonya begitu.Tak kirain 10 menit lagi...karena anak-anak
sekolah telah berdiri melambai-lambaikan
bendera di tepi jalan.Kita putuskan menunggu...sekalian menonton.
Malah ariq sempat tidur di gendonganku.Aku dan puluhan orang
yang ‘terjebak’ hanya bisa memandangi jalanan kosong berharap mereka cepat
lewat.Mungkin sebagian saking senangnya sama TdS tapi sebagiannya memikirkan bagaimana
supaya bisa cepat pulang.
Tapiii...ternyata peserta baru lewat 1,5 jam kemudian!
Penantian kami yang hampir 2 jam hanya bisa menyaksikan
pesepeda lewat di depan kami tak lebih dari 5 menit.Saking kencangnya balapan
mereka.
Semua orang yang punya handphone telah bersiap dengan kamera hp nya masing-masing.Termasuk aku
tentunya :D
Jika kamu pernah menyaksikan Tour de Singkarak atau balapan
sepeda lainnya,pasti tau kalau ingin memfoto mereka harus cepat dan tepat.Jika tidak , alamat tertinggal karena mereka akan
berlalu seperti angin wushh...
Nah..diiringi sirene dan mobil official..rombongan peserta
TdS yang berangkat dari Padang tiba di pasar Pariaman,di depan kami.Semua orang
memfokuskan mata di hape masing-masing.
Dalam hitungan menit, rombongan pun lewat.Penonton
bersorak,bertepuk tangan.Tak berapa lama,jalan lengang kembali.Lalu penonton riuh
rendah seketika saat pak polisi mempersilahkan lewat.
Aku tercenung.Menyadari suatu hal.Pembalap TdS lewat di
layar kameraku tapi tidak di mataku.Kusadari, tadi mataku tak sepenuhnya menoleh
ke mereka karena fokus membidik di kamera.Dan rombongan remaja di depanku malah
berfoto dengan membelakangi jalan.Agar mereka dapat di shoot dengan rombongan
pesepeda tampak di belakangnya.berarti mereka lebih ‘parah’ lagi.Ya
kan??dipastikan mereka tak melihat rombongan kilat itu lewat karena mereka
membelakang.
Hingga pulang ke rumah,aku masih terfikirkan akan hal
itu.Kenapa aku malah sibuk dengan kameraku?Bukankah mata ini adalah lensa
tercanggih yang diberikan Allah untuk menatap secara langsung?Keindahan yang
dipandang mata secara langsung tak akan bisa diwakili dengan pantulan gambar
lensa kamera.Keindahan itu akan terekam dalam memori internal otak kita yanag
maha dahsyat.
Dan,jika ingin merekam dan melihat di layar hape..kenapa aku
tidak melihatnya di televisi saja?
Ternyata aku telah menyia-nyiakan nikmat mata ini dengan
dalih membuat foto indah iven TdS
padahal sebenarnya telah banyak memenuhi berlembar-lembar surat kabar.
Itulah efek teknologi yang membuat kita lebih bergegas
mengejar yang semu,padahal yang riil tak kalah indahnya,hanya saja kita tidak menyadarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar