Senin, 22 Agustus 2016

Mata



Awal Agustus Tour de Singkarak memeriahkan Sumatera Barat.Iven tahunan itu seperti biasanya dinanti sebagian orang dan dirutuki sebagian orang lainnya.Tapi,kali ini kita tak membicarakan itu karena koran dan media sosial sudah terlalu banyak membahasnya.Aku hanya ingin membahas tentang sebuah kesadaran.

Pagi menjelang siang itu,aku dan Ariq ke pasar membeli kado untu adik Sa’ad yang akan datang dari Padang Panjang.Ternyata bertepatan momen pesepeda TdS menuju Kota Pariaman.Entah kenapa,tahun ini aku cuek beibeh.Biasanya aku paling antusias mengikuti jadwalnya.Kapan dan kemana rutenya dan siapa pemenang tiap etapenya.Kali ini agak-agak malas gitu.Dan  secara tak sengaja aku malah terjebak di dalamnya.maksudnya,terjebak gak bisa pulang,hihi.

Kenapa begitu?karena saat kami menuju pasar,jalan lempang-lempang saja.Tau lempang?itu artinya lurus dalam bahasa Sidikalang.

Nah,sesudah belanja...alamak...jalan pun ditutup karena pesepeda akan lewat.Infonya begitu.Tak kirain 10 menit lagi...karena anak-anak sekolah telah berdiri melambai-lambaikan  bendera di tepi jalan.Kita putuskan menunggu...sekalian menonton.

Malah ariq sempat tidur di gendonganku.Aku dan puluhan orang yang ‘terjebak’ hanya bisa memandangi jalanan kosong berharap mereka cepat lewat.Mungkin sebagian saking senangnya sama TdS tapi sebagiannya memikirkan bagaimana supaya bisa cepat pulang.

Tapiii...ternyata peserta baru lewat 1,5 jam kemudian!

Penantian kami yang hampir 2 jam hanya bisa menyaksikan pesepeda lewat di depan kami tak lebih dari 5 menit.Saking kencangnya balapan mereka.

Semua orang yang punya handphone  telah bersiap dengan  kamera hp nya masing-masing.Termasuk aku tentunya :D

Jika kamu pernah menyaksikan Tour de Singkarak atau balapan sepeda lainnya,pasti tau kalau ingin memfoto mereka harus cepat dan tepat.Jika  tidak , alamat tertinggal karena mereka akan berlalu seperti angin wushh...

Nah..diiringi sirene dan mobil official..rombongan peserta TdS yang berangkat dari Padang tiba di pasar Pariaman,di depan kami.Semua orang memfokuskan mata di hape masing-masing.

Dalam hitungan menit, rombongan pun lewat.Penonton bersorak,bertepuk tangan.Tak berapa lama,jalan lengang kembali.Lalu penonton riuh rendah seketika saat pak polisi mempersilahkan lewat.

Aku tercenung.Menyadari suatu hal.Pembalap TdS lewat di layar kameraku tapi tidak di mataku.Kusadari, tadi mataku tak sepenuhnya menoleh ke mereka karena fokus membidik di kamera.Dan rombongan remaja di depanku malah berfoto dengan membelakangi jalan.Agar mereka dapat di shoot dengan rombongan pesepeda tampak di belakangnya.berarti mereka lebih ‘parah’ lagi.Ya kan??dipastikan mereka tak melihat rombongan kilat itu lewat karena mereka membelakang.

Hingga pulang ke rumah,aku masih terfikirkan akan hal itu.Kenapa aku malah sibuk dengan kameraku?Bukankah mata ini adalah lensa tercanggih yang diberikan Allah untuk menatap secara langsung?Keindahan yang dipandang mata secara langsung tak akan bisa diwakili dengan pantulan gambar lensa kamera.Keindahan itu akan terekam dalam memori internal otak kita yanag maha dahsyat.

Dan,jika ingin merekam dan melihat di layar hape..kenapa aku tidak melihatnya di televisi saja?

Ternyata aku telah menyia-nyiakan nikmat mata ini dengan dalih membuat  foto indah iven TdS padahal sebenarnya telah banyak memenuhi berlembar-lembar surat kabar.

Itulah efek teknologi yang membuat kita lebih bergegas mengejar yang semu,padahal yang riil tak kalah indahnya,hanya saja kita tidak menyadarinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang abadi dalam do'aku

 Kepada lelaki yang telah berada di sisiku 21 tahun, aku bercerita tentang seorang lelaki yang selalu di hatiku selama 46 tahun ini. Dia aya...