Rabu, 22 Juni 2016

Razia yang menyimpan cerita



Tulisan di bawah ini kubuat saat kasus ini sedang hangat di media.Tak perlu menunggu lama,seperti dugaanku,banyak cerita lain di balik kejadian 'biasa' yang menjadi ;luar biasa' oleh olahan media.Tak salah keputusanku menunda tulisan ini untuk diposting di blog.Tapi, berbagai bias kejadian tersebut, ini lah pandangan awalku yang terekam dalam tulisan.

Ramadhan 1437 ini memasuki waktu pertengahan dari seluruh hitungan bulannya.Suasana khidmat masih terasa,semangat orang yang berpuasa mungkin masih menggelora.Tapi mungkin juga ada yang tidak sabar menunggu kapan ramadhan akan berlalu.Karena sesungguhnya ia mengikuti puasa ramadhan hanya karena di kartu pengenalnya dikatakan ia beragama islam.Dan segan jika tidak berpuasa di tengah keluarga dan temannya.Mungkin ada yang berpuasa dengan kesadaran dan mungkin juga ada yang berpuasa dengan paksaan.beragam manusia maka beragam pula kadarnya bukan?
Di tengah semangat ramadhan kali ini, diminggu pertama public Indonesia dimarakkan oleh berita razia SatPol PP serang,banten terhadap warung yang nekat berjualan di siang hari ramadhan.Razia adalah hal yang biasa dilakukan di negeri ini.Tapi yang mengaduk-aduk bathin adalah ketika media menayangkan seorang ibu korban razia yang menangis dan dagangannya disita serta dibuang petugas.Masyarakat Indonesia merespon secara beragam.Tapi media menunjukkan tayangan yang membuat penonton banyak simpati kepada si korban razia yang menangis menghiba karena sumber rezekinya dirampas. Publik geram dan mengutuk aksi pol pp dan pemimpin daerah tersebut.Dan hebatnya lagi, dilakukan pengumpulan sumbangan untuk ibu korban razia dan terkumpul sekitar 100 juta! Baik itu dari netizen/warga yang aktif di dunia maya maupun penggalangan secara langsung ke lapangan. Ini bulan ramadhan lho…dengan berinfak maka puasa anda akan semakin lengkap.itu bukan tindakan yang salah.Baguslah kalau saling tolong menolong antara si mampu dan kurang mampu.Apalagi jika itu diadakan gerakan serentak dan massif,pasti akan banyak kaum dhuafa yang terbantu dengan santunan kaum mampu tadi.
Tapi secara tak sadar,opini public bergeser-tepatnya digeser- dari simpati pada penjual nasi yang teraniaya kepada pemikiran ‘kenapa orang dilarang berjualan makanan di bulan ramadhan?’’mari menghormati orang yang tidak berpuasa”.Wacana itu menggelinding kemana-mana.Media  menari kemana arah angin dari kipas angin yang berputar.Dan umat bingung!
Ini sudah ramadhan abad keberapa lho di Indonesia.Selama ini adem-adem saja kan nuansa di negeri mayoritas beragama islam ini?Selama ini kita menjalani ini juga bukan?beberapa kepala daerah memang membuat aturan di daerahnya masing-masing,terutama yang mayoritas muslim.Tak ada yang melarang berjualan selama bulan ramadhan,tapi yang diatur adalah berjualan di siang hari dan memfasilitasi orang-orang yang mencoba curang dalam berpuasa.Atau jika dia di daerah yang memang terdapat non muslim,maka sebaiknya warungnya ditutup kelambu. Ini contoh gambaran perda di Kota Padang. Dan kemungkinan ada daerah lain yang menggunakan peraturan yang sama atau berbeda tergantung kebutuhan daerahnya.Umara itu bagian partner dari ulama juga kan?.Semua aturan yang dibuat pastinya disosialisasikan kepada sasaran.Dan ternyata kebanyakan yang dirazia bukannya tidak tahu,tapi karena nekat melanggar peraturan.
Tentang masalah ‘menghormati orang yang tidak berpuasa’ ini, pemikiran darimana dan milik siapa ini?Ini pemikiran baru.Bukan…pemikiran itu telah ada sebelumnya terutama dari orang muslim yang memandang puasa adalah perkara yang berat.Atau muncul dari orang yang menganggap syari’at islam ini hal yang tidak boleh terjadi di negeri ini.Itu hanya sebuah gambara ketakutan tak beralasan.
Sepanjang aku menjalani puasa sebagai seorang mukallaf-yang telah dibebankan ALLAH-ramadhan  kulewati di Sidikalang,kampong kelahiranku.Muslim adalah minoritas di sana.Kami berpuasa di tengah kedai nasi yang tetap buka, di tengah kawan-kawan nasrani yang tidak berpuasa.Kerukunan itu tercipta harmoni di sana. Tapi untuk urusan harga-menghargai,jangan ditanya.Mereka akan minta maaf pada kita ketika ingin makan di hadapan kita.Atau dengan berperasaan berusaha menjauh dari pandangan kita.Mereka secara tidak langsung menyesuaikan dengan keadaan kita.Itulah kerukunan.Itu makna ‘menghormati orang yang berpuasa’.Itu gambaran kami di daerah minoritas.Apatah lagi di sebuah daerah yang mayoritas muslim. Wajar saja kepala daerahnya berusaha memfasilitasi kenyamanan warganya di siang hari.Walaupun kita ketahui,tak serta merta orang yang berkomitmen berpuasa akan kalap begitu melihat masakan di etalase warung.Tidak!!..orang dewasa yang berpuasa telah tahu kapan ia boleh makan dan sepanjang hari ia harus menahan keinginan itu.Tapi regulasi dibuat bukan sekedar mengistimewakan orang yang berpuasa,tapi ada upaya menjaga agar ibadah ini di laksanakan semua wajib puasa dengan maksimal.
Mengenai larangan berjualan.Tak ada larangan berjualan selama  bulan ramadhan,yang diatur adalah  di siang hari.Selebihnya terserah.Berjualan di sore dan malam hari pun malah paling baik karena di sana orang mencari makanan buka puasa,makan malam dan sahur.Di Kota Pariaman ini terasa semarak karena jangankan penjual yang telah eksis,orang yang sebelumnya tidak berjualan malah menggelar dagangan di sepanjang tepi jalan raya, di pusat-pusat pasar.Dan itu diserbu pembeli.Belum lagi budaya ngemil makanan tambahan sesudah sembahyang tarawih,membuat kedai-kedai selalu rame dan penjual jarang yang rugi.Tergantung persepsi awalnya saja.
Sehingga patut dipertanyakan, berjualan makanan (nasi) di siang hari di tengah mayoritas orang berpuasa untuk siapa?
Selagi memikirkan jawaban pertanyaan di atas,aku sepakat dengan beberapa tulisan di media social.Ungkapan ‘menghormati orang yang tidak berpuasa’ adalah upaya mengobok-obok prinsip yang telah mantap menjadi goyang. Kalimat itu tak ada kaitannya dengan razia pedagang tadi.Umat muslim sudah sering dibenturkan sesamanya.Momen ini hanya tuas-nya saja. Pihak yang   mencoba membenturkan terkadang  malah orang muslim itu sendiri.Yang merasa bijak dan mengotak-atik sesuka hati.Yang punya pemikiran baru dan menganggap agama ini teralalu monoton sehingga berusaha membuat penyegaran.Padahal yang coba di obok-oboknya adalah aturan syari’at.Dan tak sedikit pula yang menjadi bingung dari kemantapannya tadi. Semoga kita dijauhkan dari kebingungan.





Kesempatan kedua di Apresiasi GTK 2023

 Seolah rendezvous, aku menatap Bandara Internasional Minangkabau pagi itu, 20 November 2023. Sementara hiruk pikuk rombongan Apresiasi GTK ...