Tulisan di bawah ini kubuat saat kasus ini sedang hangat di media.Tak perlu menunggu lama,seperti dugaanku,banyak cerita lain di balik kejadian 'biasa' yang menjadi ;luar biasa' oleh olahan media.Tak salah keputusanku menunda tulisan ini untuk diposting di blog.Tapi, berbagai bias kejadian tersebut, ini lah pandangan awalku yang terekam dalam tulisan.
Ramadhan 1437 ini memasuki waktu
pertengahan dari seluruh hitungan bulannya.Suasana khidmat masih
terasa,semangat orang yang berpuasa mungkin masih menggelora.Tapi mungkin juga
ada yang tidak sabar menunggu kapan ramadhan akan berlalu.Karena sesungguhnya ia
mengikuti puasa ramadhan hanya karena di kartu pengenalnya dikatakan ia
beragama islam.Dan segan jika tidak berpuasa di tengah keluarga dan temannya.Mungkin
ada yang berpuasa dengan kesadaran dan mungkin juga ada yang berpuasa dengan
paksaan.beragam manusia maka beragam pula kadarnya bukan?
Di tengah semangat ramadhan kali ini,
diminggu pertama public Indonesia dimarakkan oleh berita razia SatPol PP
serang,banten terhadap warung yang nekat berjualan di siang hari ramadhan.Razia
adalah hal yang biasa dilakukan di negeri ini.Tapi yang mengaduk-aduk bathin adalah
ketika media menayangkan seorang ibu korban razia yang menangis dan dagangannya
disita serta dibuang petugas.Masyarakat Indonesia merespon secara beragam.Tapi
media menunjukkan tayangan yang membuat penonton banyak simpati kepada si
korban razia yang menangis menghiba karena sumber rezekinya dirampas. Publik
geram dan mengutuk aksi pol pp dan pemimpin daerah tersebut.Dan hebatnya lagi,
dilakukan pengumpulan sumbangan untuk ibu korban razia dan terkumpul sekitar
100 juta! Baik itu dari netizen/warga yang aktif di dunia maya maupun
penggalangan secara langsung ke lapangan. Ini bulan ramadhan lho…dengan
berinfak maka puasa anda akan semakin lengkap.itu bukan tindakan yang salah.Baguslah
kalau saling tolong menolong antara si mampu dan kurang mampu.Apalagi jika itu
diadakan gerakan serentak dan massif,pasti akan banyak kaum dhuafa yang
terbantu dengan santunan kaum mampu tadi.
Tapi secara tak sadar,opini public
bergeser-tepatnya digeser- dari simpati pada penjual nasi yang teraniaya kepada
pemikiran ‘kenapa orang dilarang berjualan makanan di bulan ramadhan?’’mari
menghormati orang yang tidak berpuasa”.Wacana itu menggelinding
kemana-mana.Media menari kemana arah
angin dari kipas angin yang berputar.Dan umat bingung!
Ini sudah ramadhan abad keberapa lho
di Indonesia.Selama ini adem-adem saja kan nuansa di negeri mayoritas beragama
islam ini?Selama ini kita menjalani ini juga bukan?beberapa kepala daerah
memang membuat aturan di daerahnya masing-masing,terutama yang mayoritas
muslim.Tak ada yang melarang berjualan selama bulan ramadhan,tapi yang diatur
adalah berjualan di siang hari dan memfasilitasi orang-orang yang mencoba
curang dalam berpuasa.Atau jika dia di daerah yang memang terdapat non
muslim,maka sebaiknya warungnya ditutup kelambu. Ini contoh gambaran perda di Kota
Padang. Dan kemungkinan ada daerah lain yang menggunakan peraturan yang sama
atau berbeda tergantung kebutuhan daerahnya.Umara itu bagian partner dari ulama
juga kan?.Semua aturan yang dibuat pastinya disosialisasikan kepada sasaran.Dan
ternyata kebanyakan yang dirazia bukannya tidak tahu,tapi karena nekat
melanggar peraturan.
Tentang masalah ‘menghormati orang
yang tidak berpuasa’ ini, pemikiran darimana dan milik siapa ini?Ini pemikiran baru.Bukan…pemikiran
itu telah ada sebelumnya terutama dari orang muslim yang memandang puasa adalah
perkara yang berat.Atau muncul dari orang yang menganggap syari’at islam ini
hal yang tidak boleh terjadi di negeri ini.Itu hanya sebuah gambara ketakutan tak
beralasan.
Sepanjang aku menjalani puasa sebagai
seorang mukallaf-yang telah dibebankan ALLAH-ramadhan kulewati di Sidikalang,kampong
kelahiranku.Muslim adalah minoritas di sana.Kami berpuasa di tengah kedai nasi
yang tetap buka, di tengah kawan-kawan nasrani yang tidak berpuasa.Kerukunan
itu tercipta harmoni di sana. Tapi untuk urusan harga-menghargai,jangan
ditanya.Mereka akan minta maaf pada kita ketika ingin makan di hadapan
kita.Atau dengan berperasaan berusaha menjauh dari pandangan kita.Mereka secara
tidak langsung menyesuaikan dengan keadaan kita.Itulah kerukunan.Itu makna
‘menghormati orang yang berpuasa’.Itu gambaran kami di daerah minoritas.Apatah
lagi di sebuah daerah yang mayoritas muslim. Wajar saja kepala daerahnya
berusaha memfasilitasi kenyamanan warganya di siang hari.Walaupun kita
ketahui,tak serta merta orang yang berkomitmen berpuasa akan kalap begitu
melihat masakan di etalase warung.Tidak!!..orang dewasa yang berpuasa telah
tahu kapan ia boleh makan dan sepanjang hari ia harus menahan keinginan itu.Tapi
regulasi dibuat bukan sekedar mengistimewakan orang yang berpuasa,tapi ada
upaya menjaga agar ibadah ini di laksanakan semua wajib puasa dengan maksimal.
Mengenai larangan berjualan.Tak ada
larangan berjualan selama bulan
ramadhan,yang diatur adalah di siang
hari.Selebihnya terserah.Berjualan di sore dan malam hari pun malah paling baik
karena di sana orang mencari makanan buka puasa,makan malam dan sahur.Di Kota
Pariaman ini terasa semarak karena jangankan penjual yang telah eksis,orang
yang sebelumnya tidak berjualan malah menggelar dagangan di sepanjang tepi
jalan raya, di pusat-pusat pasar.Dan itu diserbu pembeli.Belum lagi budaya
ngemil makanan tambahan sesudah sembahyang tarawih,membuat kedai-kedai selalu
rame dan penjual jarang yang rugi.Tergantung persepsi awalnya saja.
Sehingga patut dipertanyakan,
berjualan makanan (nasi) di siang hari di tengah mayoritas orang berpuasa untuk
siapa?
Selagi memikirkan jawaban pertanyaan
di atas,aku sepakat dengan beberapa tulisan di media social.Ungkapan
‘menghormati orang yang tidak berpuasa’ adalah upaya mengobok-obok prinsip yang
telah mantap menjadi goyang. Kalimat itu tak ada kaitannya dengan razia
pedagang tadi.Umat muslim sudah sering dibenturkan sesamanya.Momen ini hanya
tuas-nya saja. Pihak yang mencoba
membenturkan terkadang malah orang
muslim itu sendiri.Yang merasa bijak dan mengotak-atik sesuka hati.Yang punya
pemikiran baru dan menganggap agama ini teralalu monoton sehingga berusaha
membuat penyegaran.Padahal yang coba di obok-oboknya adalah aturan syari’at.Dan
tak sedikit pula yang menjadi bingung dari kemantapannya tadi. Semoga kita
dijauhkan dari kebingungan.