Senin, 31 Agustus 2020

My Agustus

 Agustus itu bulan milikku (jangan komplain)

Karena aku lahir di bulan ini. Tiap awal bulan aku selalu antusias menyambutnya. Tanggal 22 adalah tanggal istimewa untuk dikenang. Di tanggal itu aku akan berulangtahun, mengenang pertambahan usia dari tahun-tahun sebelumnya. Berharap semoga diri ini semakin matang alias mature kata orang seberang sana!

Masa remaja dahulu jujurlah..aku ingin hari kelahiran dipenuhi suasana sukacita. Ucapan selamat dari orang terdekat. Dengan wajah gembira engkau dido'akan..diharapkan mendapat kebaikan dan meraih semua apa yang diinginkan. Pokoknya, tanggal 22 itu berakhir dengan malam yang indah dan aku tidur dengan mengaminkan semua do'a yang membumbung ke langit seiring mimpiku yang mengangkasa.

Semakin tua, jujur aja lagi!!

Ternyata kita semakin mencari makna. Tanpa diperintah aja, fikiran dan hati kita seperti ada sebuah guide yang meuncul memberi pencerahan tanpa kenal waktu dan tempat. Misalnya: aku melihat sebuah kejadian yang menyedihkan yang dialami seorang teman. Dari layar kesedihan itu aku tidak turut larut seperti sebelum-sebelumnya.Timbang perasaan sudah didominasi fikiran mencari makna.Semakin tua kita ternyata semakin mencoba tidak terburu-buru.Kita sudah pernah mengalami suatu peristiwa yang mana kala terjadi lagi ke depannya (dengan format serupa) maka jiwa kita mengambil pelajaran dari yang sudah-sudah.Kita tidak lagi terlalu emosional, kita semakin sering melihat kepergian orang-orang yang kita kenal. Saudara, teman, guru,tetangga.Dan itu semakin memberi makna.

Ditengah angka usia yang semakin naik seperti angka berat badan, aku memilih menyepi dari kehingarbingaran.Aku bukannya antipati dengan ucapan Selamat Milad,selamat ulang tahun. Tak ada yang salah dengan ucapan berisi do'a selamat. Kepada anak-anak tiap hari lahirnya kami tak pernah memberikan lilin ber angka dan menyuruh mereka (make a wish, son!) lalu meniupnya.Tidak. Tapi setiap mereka ultah, hingga saat inipun kami akan saling mengucapkan selamat.Dan menutup malam dengan makan bersama keluarga.Karena kue sudah terlalu menambah berat badan (lagi-lagi).Ia berklori sangat tinggi!. Momen ulang tahun bagi anak harus tetap mereka peringati.

Tapi saat suami dan anak-anakku bulan kemarin mengucapkan selamat ulang tahun, aku semakin diingatkan tentang limit yang semakin dekat.Dan aku banyak-banyak mengaminkan do'a :semoga usiamu berkah! karena panjang umur tapi tak berkah akan sia-sia.

Demikian catatan malam ini tepat pukul 23:09


Sabtu, 15 Agustus 2020

Mendung di Langit Sinabung

 


    Sebuah novel berada di tanganku. Buku bersampul gelap itu seolah menggambarkan kelabunya asap Gunung Sinabung, seperti judulnya Mendung di Langit Sinabung.

Yup..kuulangi kembali membaca novel karangan seorang teman, saudara dalam ukhuwah,wanita tangguh, Ika DY yang sekarang berdomisili di Kota Binjai Sumatera Utara. Novel ini bertemakan kisah percintaan seorang penyintas (survivor) bencana bernama Atika yang memendam rasa terhadap Ibrahim, teman masa kecilnya. 

Rumitnya kisah percintaan diramu Ika DY dengan adanya Alisya dan hadirnya sosok Guntur  di sisinya. Remuknya hati  menghadapi realita menghantarkan Atika berangkat meninggalkan kotanya ke Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mengabdikan diri dalam kegiatan kemanusiaan dan juga melarikan diri dari sebuah kegelisahan. Siapa yang mesti ia salahkan? perhatian Ibrahim kepadanya yang telah disalah maknai? atau sosok Alisya yang membiarkan perasaannya berurat berakar namun akhirnya tercerabut dan menyisakan rasa  perih? Yang jelas ia marah kepada keduanya!

    Bagiku, novel ini memberi kesan tersendiri.  Gunung Sinabung yang gagah perkasa selalu terlihat menjulang dari kampung ku di Sidikalang, Kabupaten Dairi. Desa Sukandebi, daerah yang digambarkan rawan dalam  cerita novel ini  hanya berjarak  sekitar 32 Km dari Sidikalang. Secara geografis Kabupaten Dairi  dan Kabupaten Karo bersebelahan bersusun di dataran tinggi. Bubungan hitam letusan serta debu bisa terlihat dan sampai ke perbatasan daerah kami. Bencana erupsi. Sinabung yang kembali  terjadi minggu lalu itupun seolah memberi rasa tersendiri  membacanya, seolah membawa rendezvous tokoh Atika dan Guntur. 

    Novel ini  memuat cerita  kemanusiaan, kehidupan relawan bencana dan suka-dukanya. Bagaimana suasana saat letusan terjadi, bagaimana kesigapan bertindak dan mengisi waktu menghibur anak-anak pengungsian.  Ika DY menggambarkan kondisi Dataran Tinggi Karo dengan tepat. Alam dinginnya, subur tanahnya dan ramah penduduknya. Menyatu bersama warga di pengungsian bencana seolah membawa kita langsung mengalami suasana tersebut.

    Rasa khas 'Sange' seolah telah hadir di mulutku, mengingat aku dibesarkan di Sidikalang . Kondisi tanah Karo seiras dengan daerahku, kondisi alamnya, kearifan masyarakatnya. Minuman khas itu juga ada di daerah kami (percayalah ka, aku langsung menyeduh sange-ku dengan rasa yang 'pas' itu :)). Termasuk juga Cimpa, kue khas Karo juga istilah-istilah bahasa Karo yang sangat akrab di telinga. Mengingat Tigalingga, kecamatan di perbatasan Dairi-Karo, kampung ibuku dilahirkan mayoritas masyarakatnya berbahasa Karo.

    Keseharian Atika bersama pengungsi menggumulkan rasa kasihan, empati dan bercampur pilu hati setiap mengingat Ibrahim dan Alisya yang meluluhkan perasaannya. Atika berusaha mengalihkan setiap bayangan Ibrahim yang tak berhenti hadir di benaknya. Atika mencari jawaban rasa yang dia sendiri tak pernah tahu kenapa selalu mengganggunya. Sosok Bang Ben dan dr.Alin membuat Atika menyadari bahwa cinta tak mesti saling memiliki. Karena waktu berlalu dan banyak hati lain yang mesti dijaga. Suatu waktu ia mesti belajar ikhlas, dan waktu menjawabnya.

    Namun setiap upaya kita menjauhkan diri, selalu ada jalan untuk pulang. Berita mendadak tentang Alisya  yang kini tergolek rapuh dan lemah dikungkung penyakit level stadium akhir . Alisya-nya yang sebenarnya telah lemah, namun memutuskan menggenggam cinta yang lebih sempurna. Apakah Atika tahu bagaimana menggugunya Alisya memohon Tuhan untuk takdirnya bersama Ibrahim? Di atas rasa cinta segitiga, ada rasa yang lebih besar yang akan memudarkan itu semua dan menyatukan tanpa perlu banyak berkata lagi. Cinta yang sempurna.

    Sisi kemanusiaan juga digambarkan melalui sosok ibu Ratih. Saat Ika membawa flash back kisah Alisya, Ibrahim dan Atika,aku tak kuasa menahan airmata. Aku diingatkan realita anak-anak senasib seperti mereka. Itu ada di sekeliling kita dan butuh kita untuk melimpahinya dengan kasih sayang . Aku mendadak ingin seperti Bu Ratih yang penuh pengorbanan. Sungguh pandai Ika menggugah hati pembacanya.

     Di Sinabung juga Atika bertemu Guntur yang sejak awal sudah memberi perhatian padanya. Bagaimana nasib Guntur?Apakah nanti Atika dipertemukan dengan Ibrahim?apakah mereka akan dipersatukan? Kenapa Alisya membuat Atika mesti menjauh dan memilih mengalah?

    Membaca novel ini juga membawa kita merenung. Bencana silih berganti dan bermacam bentuknya selayaknya membuat kita terjaga, dimanapun kita mesti memberi peran dalam bentuk yang kita bisa. Sebagaimana kata sosok Bang Ben :di bumi ini tak pernah ada bencana alam, yang ada adalah bencana kemanusiaan.  Sebab alam memiliki caranya sendiri untuk merawat diri dan kondisi di sekitarnya , seharusnya kita belajar dari alam bagaimana ia menjaga kelestarian, keselarasan juga keseimbangan. 

Aku juga sepakat dengan pengantar di awal oleh penulis Hujan Tarigan, bahwa terkadang bencana adalah cara alam menyembuhkan dirinya. Mungkin debu vulkanik Sinabung ini adalah obat luka yang dapat menyuburkan tanah Karo sebagai sentra pertanian? ilmu pertanianku menyatakan bahwa debu vulkanik gunung berapi sangat baik menyuburkan lahan pertanian. Sekarang ia bencana, namun puluhan tahun lagi ia adalah sumber daya alam bagi anak cucu? mungkin?wallahu'alam..karena sebagai manusia kita mesti banyak bertanya hikmah dari sebuah kejadian dan menyadarinya sebagai cobaan juga anugerah Ilahi.

    Tabik Ika! my sister fillah...Bukumu mengobati rinduku akan sosok penuh semangatmu yang Ika gambarkan lewat sosok Atika. Namun Ika -ku orangnya tegas dan gak melow sih..hahhaha...

Ditunggu karya slanjutnya ya Ika sayang... 

   

Senin, 10 Agustus 2020

setahun ayah berpulang

Hari ini 11 Agustus 2020 , tepat sstahun sudah ayahanda berpulang ke ribaan Sang Khaliq. 

Tepat 10 Dzulhijjah dini hari. Di hari yang baik, saat takbir mulai dikumandangkan umat Islam memperingati idul adha. Kemarinnya ayah dan keluarga masih menuntaskan puasa arafah. Musibah malam takbiran saat anaknya yang ke 5, Khairul Angkat ditabrak motor ketika berangkat sholat maghrib ke mesjid sesudah buka puasa bersama.
Ayah mungkin syok....melihat anaknya ditangani dokter, begitulah ayah kami...dia pada dasarnya bersifat mudah trenyuh, mudah kaget dan sangat sayang pada semua anaknya.
Malam itu ayah sudah mengeluhkan sakit dada...dengan kondisi baru berbuka puasa,dia belum makan dan langsung dihadapkan pada kejutan kejadian itu.
Ayah menghadap Allah saat bangun tidurnya. InsyaAllah husnul khatimah, kata mamak dan adik-adikku yang melihat ayah menghadapi sakaratul mautnya.
Hanya sekejap..ya...hanya sekejap ia telah terdiam tanpa sempat berpesan apa-apa lagi.
Hari itu juga...aku yang tinggal di rantau,tak bisa mengejarkan waktu hingga ayah dimakamkan.
Aku tiba tepat setelah ayah dimakamkan.Aku hanya bisa memeluk batu nisannya.
Sungguh...hari itu adalah hari dimana orang yang ramai di pekuburan mengasihani aku.Dan ketahuilah bahwa  aku paling mengasihani diriku sendiri. Hingga saat ini jika pikiran tiba...sering aku berfikir..bagaimana seandainya..kenapa begini..kenapa begitu...kenapa aku, yang katanya anak perempuan tertua yang disayanginya tidak bertemu dengannya di hari terakhirnya. 
Aku selalu mengalihkan fikiran itu dan selalu mencoba ikhlas. Mengucapkan namanya dalam setiap do'aku masih belum bisa mengalihkan haru dan sedih.
Ikhlas...ikhlas...dirunut dari semua peristiwa menjelang kepergiannya, ayah telah bersiap untuk istirahat .Rencana ke  Baitullah menunaikan haji telah mereka jalani.Ayah memang mesti istirahat, agar gangguan, fitnahan, makian yang diterimanya selama ini tak membuat hatinya sedih lagi dan menambah sirat ketuaan di wajahnya.Mengingat itu semua aku faham akan skenario Allah. 
Aku sayang ayahku...
Setahun sudah, kami hadir di makam ayah berkumpul bersama.Kami yang kehilangan suami,ayah,pun mertua,poli hanya bisa mengusap nisannya dan mengirimkan do'a untuknya.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fuanhu

Kesempatan kedua di Apresiasi GTK 2023

 Seolah rendezvous, aku menatap Bandara Internasional Minangkabau pagi itu, 20 November 2023. Sementara hiruk pikuk rombongan Apresiasi GTK ...