Sebuah novel berada di tanganku. Buku bersampul gelap itu seolah menggambarkan kelabunya asap Gunung Sinabung, seperti judulnya Mendung di Langit Sinabung.
Yup..kuulangi kembali membaca novel karangan seorang teman, saudara dalam ukhuwah,wanita tangguh, Ika DY yang sekarang berdomisili di Kota Binjai Sumatera Utara. Novel ini bertemakan kisah percintaan seorang penyintas (survivor) bencana bernama Atika yang memendam rasa terhadap Ibrahim, teman masa kecilnya.
Rumitnya kisah percintaan diramu Ika DY dengan adanya Alisya dan hadirnya sosok Guntur di sisinya. Remuknya hati menghadapi realita menghantarkan Atika berangkat meninggalkan kotanya ke Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mengabdikan diri dalam kegiatan kemanusiaan dan juga melarikan diri dari sebuah kegelisahan. Siapa yang mesti ia salahkan? perhatian Ibrahim kepadanya yang telah disalah maknai? atau sosok Alisya yang membiarkan perasaannya berurat berakar namun akhirnya tercerabut dan menyisakan rasa perih? Yang jelas ia marah kepada keduanya!
Bagiku, novel ini memberi kesan tersendiri. Gunung Sinabung yang gagah perkasa selalu terlihat menjulang dari kampung ku di Sidikalang, Kabupaten Dairi. Desa Sukandebi, daerah yang digambarkan rawan dalam cerita novel ini hanya berjarak sekitar 32 Km dari Sidikalang. Secara geografis Kabupaten Dairi dan Kabupaten Karo bersebelahan bersusun di dataran tinggi. Bubungan hitam letusan serta debu bisa terlihat dan sampai ke perbatasan daerah kami. Bencana erupsi. Sinabung yang kembali terjadi minggu lalu itupun seolah memberi rasa tersendiri membacanya, seolah membawa rendezvous tokoh Atika dan Guntur.
Novel ini memuat cerita kemanusiaan, kehidupan relawan bencana dan suka-dukanya. Bagaimana suasana saat letusan terjadi, bagaimana kesigapan bertindak dan mengisi waktu menghibur anak-anak pengungsian. Ika DY menggambarkan kondisi Dataran Tinggi Karo dengan tepat. Alam dinginnya, subur tanahnya dan ramah penduduknya. Menyatu bersama warga di pengungsian bencana seolah membawa kita langsung mengalami suasana tersebut.
Rasa khas 'Sange' seolah telah hadir di mulutku, mengingat aku dibesarkan di Sidikalang . Kondisi tanah Karo seiras dengan daerahku, kondisi alamnya, kearifan masyarakatnya. Minuman khas itu juga ada di daerah kami (percayalah ka, aku langsung menyeduh sange-ku dengan rasa yang 'pas' itu :)). Termasuk juga Cimpa, kue khas Karo juga istilah-istilah bahasa Karo yang sangat akrab di telinga. Mengingat Tigalingga, kecamatan di perbatasan Dairi-Karo, kampung ibuku dilahirkan mayoritas masyarakatnya berbahasa Karo.
Keseharian Atika bersama pengungsi menggumulkan rasa kasihan, empati dan bercampur pilu hati setiap mengingat Ibrahim dan Alisya yang meluluhkan perasaannya. Atika berusaha mengalihkan setiap bayangan Ibrahim yang tak berhenti hadir di benaknya. Atika mencari jawaban rasa yang dia sendiri tak pernah tahu kenapa selalu mengganggunya. Sosok Bang Ben dan dr.Alin membuat Atika menyadari bahwa cinta tak mesti saling memiliki. Karena waktu berlalu dan banyak hati lain yang mesti dijaga. Suatu waktu ia mesti belajar ikhlas, dan waktu menjawabnya.
Namun setiap upaya kita menjauhkan diri, selalu ada jalan untuk pulang. Berita mendadak tentang Alisya yang kini tergolek rapuh dan lemah dikungkung penyakit level stadium akhir . Alisya-nya yang sebenarnya telah lemah, namun memutuskan menggenggam cinta yang lebih sempurna. Apakah Atika tahu bagaimana menggugunya Alisya memohon Tuhan untuk takdirnya bersama Ibrahim? Di atas rasa cinta segitiga, ada rasa yang lebih besar yang akan memudarkan itu semua dan menyatukan tanpa perlu banyak berkata lagi. Cinta yang sempurna.
Sisi kemanusiaan juga digambarkan melalui sosok ibu Ratih. Saat Ika membawa flash back kisah Alisya, Ibrahim dan Atika,aku tak kuasa menahan airmata. Aku diingatkan realita anak-anak senasib seperti mereka. Itu ada di sekeliling kita dan butuh kita untuk melimpahinya dengan kasih sayang . Aku mendadak ingin seperti Bu Ratih yang penuh pengorbanan. Sungguh pandai Ika menggugah hati pembacanya.
Di Sinabung juga Atika bertemu Guntur yang sejak awal sudah memberi perhatian padanya. Bagaimana nasib Guntur?Apakah nanti Atika dipertemukan dengan Ibrahim?apakah mereka akan dipersatukan? Kenapa Alisya membuat Atika mesti menjauh dan memilih mengalah?
Membaca novel ini juga membawa kita merenung. Bencana silih berganti dan bermacam bentuknya selayaknya membuat kita terjaga, dimanapun kita mesti memberi peran dalam bentuk yang kita bisa. Sebagaimana kata sosok Bang Ben :di bumi ini tak pernah ada bencana alam, yang ada adalah bencana kemanusiaan. Sebab alam memiliki caranya sendiri untuk merawat diri dan kondisi di sekitarnya , seharusnya kita belajar dari alam bagaimana ia menjaga kelestarian, keselarasan juga keseimbangan.
Aku juga sepakat dengan pengantar di awal oleh penulis Hujan Tarigan, bahwa terkadang bencana adalah cara alam menyembuhkan dirinya. Mungkin debu vulkanik Sinabung ini adalah obat luka yang dapat menyuburkan tanah Karo sebagai sentra pertanian? ilmu pertanianku menyatakan bahwa debu vulkanik gunung berapi sangat baik menyuburkan lahan pertanian. Sekarang ia bencana, namun puluhan tahun lagi ia adalah sumber daya alam bagi anak cucu? mungkin?wallahu'alam..karena sebagai manusia kita mesti banyak bertanya hikmah dari sebuah kejadian dan menyadarinya sebagai cobaan juga anugerah Ilahi.
Tabik Ika! my sister fillah...Bukumu mengobati rinduku akan sosok penuh semangatmu yang Ika gambarkan lewat sosok Atika. Namun Ika -ku orangnya tegas dan gak melow sih..hahhaha...
Ditunggu karya slanjutnya ya Ika sayang...