Hari ini hari
ketiga Wafa tidak sekolah.Berarti sudah tiga hari Wafa mengikuti latihan rutin tim
polisi cilik Polres Pariaman.Yang waktunya full sejak pukul 8 pagi hingga 5
sore.Setelah seminggu sebelumnya mengikuti seleksi,Alhamdulillah wafa lulus
mewakili sekolahnya beserta 3 temannya masuk ke dalam tim Kota Pariaman.Seperti
biasa,saat dijemput dari tempat latihan ,dia tetap dengan wajah lelahnya.tetapi
sore ini Wafa melaporkan ‘sesuatu’.Tadi bapak pelatih membawa ibu penjahit baju
untuk mengukur badan (sepertinya hendak dibuatkan seragam).Saran pak pelatihnya,
seragam anak perempuan tidak usah pakai jilbab ,karena akan menyulitkan gerakan.
“Ummi,kakak gak mau ikut lagi kalau
dipaksa harus buka jilbab”tegas Wafa
‘Trus,tadi kakak bilang apa sama
pak pelatihnya?’Cecarku penasaran
“Kakak bilang kalau kakak mau
pakai jilbab.”Ujarnya mantap
Alhamdulillah…mendengar
itu tak terkira syukurku.Walaupun aku telah menduga bahwa Wafa akan
mempertahankan jilbabnya tapi melihatnya resah akibat diberi pilihan itu
membuatku melihat sesuatu yang muncul dalam dirinya.Bahwa jilbabnya telah menjadi
bagian dari dirinya dan tak rela dengan mudah melepaskannya.Dan ternyata ada beberapa
temannya yang lain yang juga tetap ingin tetap berjilbab.
Berjilbab memang
belum diwajibkan pada anak perempuan yang belum mencapai baligh-nya.Tetapi pengenalan
dan pembiasaan sebelum dia diwajibkan adalah ‘penting’.Mungkin inilah yang
menjadi pedoman kami sebagai orangtua(mungkin juga seperti orang tua-orangtua
lainnya) dalam mendidik anak perempuan.
Sebagai anak
sulung dari ketiga adiknya dan juga sebagai satu-satunya perempuan,Wafa
merasakan sebagai jilbaber sendirian di
keluarga kami (selain aku,ibunya).Tak pernah ada pemaksaan.Tapi sedari berumur
1 tahun,jilbab imut telah menjadi aksesoris pakaiannya jika
bepergian.Melengkapi baju muslimahnya.Jika di rumah, tetap berpenampilan seperti
anak-anak lainnya.Hingga ketika duduk di kelas 2 SD pun dia masih wara-wiri
main di sekitar rumah dengan anak-anak tetangga,jilbab masih bongkar pasang.Namun
jika bepergian jauh jilbab tetap melekat.
Lingkungan merupakan
faktor yang sangat mendukung proses itu.Melihat umminya yang selalu berjilbab
di luar rumah dan di hadapan non-mahrom.Melihat tantenya seperti itu juga.Dan
Ustadzah di sekolahnya yang selalu menasehati agar berpakaian
sopan.Lama-kelamaan dia menjadi sungkan lagi jika tidak berjilbab ke luar
rumah.Jilbab telah menjadi bagian dari pakaiannya dan perilakunya.Secara
spontan,ketika akan ke warung wafa memasang jilbab dulu.Jika ada tamu dan
diintip ternyata lelaki , dia pun akan menyambar jilbabnya terlebih dahulu
sebelum membuka pintu.
Semua butuh
proses.Saat ini Wafa masih dalam tahapan mengenal dan mencintai hijab-nya. Sembari
itu peran kitalah yang selalu memberinya pemahaman mengapa seorang muslimah
yang telah baligh dia diwajibkan menutup auratnya.Sehingga ketika kelak tiba masanya dia telah menyadari
bahwa muslimah dimuliakan Allah dengan hijabnya dan perintah ini juga merupakan
bukti cinta Rabb-nya padanya.Semoga nantinya Wafa tidak saja hanya sebagai
pengguna jilbab tetapi juga mampu membela hakikat jilbab yang melekat di
badannya itu.Aku bisa memaklumi pak pelatih yang berpendapat seperti itu.Bisa jadi dia
menganggap peserta Po-Cil perempuan itu tidak apa-apa tidak berjilbab,toh masih
anak-anak.Tapi Wafa tetap kubekali nasihat agar berani menyampaikan
pembelaannya.Masalahnya di sini pak pelatih menganggap jilbab akan menghambat
gerakan anak.Kugambarkan pada Wafa bahwa salah seorang dari 3 orang polwan
pelatihnya mengenakan jilbab.
‘Tuh,buktinya kakak polwan itu
berjilbab tapi tetap energik kan? Kakak merasa gak kalau jilbab kakak
mengganggu gerakan latihan?’
Tentu saja Wafa menjawab: “Tidak”
Karena jilbabnya telah menyertai
setiap gerakannya selama ini.Jangankan latihan baris- berbaris,berenang saja Wafa
berjilbab.Hiking ke tengah rimba pun Wafa berjilbab.Dan jilbab ternyata tidak
mengganggu aktivitasnya.Wafa pasti merasakan itu di hatinya. Tetap semangat my
little hijaber!
Luv u
Tidak ada komentar:
Posting Komentar