Amirah Shiddiqul Wafa, 20 tahun yang lalu nama itu kuberikan pada putri pertama kami yang lahir di tanggal 23 April. Kami memanggilnya Wafa. Brru penggelaren, dalam bahasa Pakpak, kunyah dalan bahasa Arab, ia adalah sematan nama orangtuanya. Dengan kelahirannya aku otomatis dipanggil sebagai Mak Wafa, Ummu Wafa, Umminya Wafa, Mama Wafa.
Pemimpin yang benar dan menepati janji, begitulah kurang lebih arti dari namanya. Nama yang penuh makna dan harapan. Namun dibalik itu aku yakin dengan nama itu ia kelak jadi perempuan hebat. Karena ia sudah tangguh sejak dalam kandungan. Mengapa aku berkata demikian? karena akulah saksi akan perjalanannya hingga ke dunia ini (tepatnya) kebersamaan kami sebagai ibu dan anak.
Dari kelahiran secara normal, masa bayi yang sehat dan perkembangan anak hingga remaja tak kurang satu apapun. Namun perjalanan selama masa awal Allah SWT mengirimkannya kepada kami sangat indah untuk dikenang.
Sesudah menikah di pertengahan Juli 2004, aku langsung mengikuti suami pindah ke Air Runding, Pasaman Barat untuk tinggal di sana. Suami pada saat itu bekerja sebagai staf afdeling perkebunan sawit PT Bintara Tani Nusantara II. Kami tinggal di wilayah bukaan baru lahan sawit yang sangat luas dimana hanya ada 4 rumah semi permanen untuk staf . Rumah tersebut baru dihuni 2 staf dan selebihnya masih kosong . Sebelumnya suami menempati satu rumah itu dan tetangganya adalah rekan staf yang masih lajang yang bertugas di afdeling lain. Lokasi rumah tepat di atas puncak bukit kecil. Sejauh mata memandang adalah hamparan sawit di sekelilingnya. Nun di puncak bukit satunya adalah barak tenaga harian lepas. Tak ada kedai apalagi pasar . Terkadang sesekali mobil pick up penjual sembako lewat jika jalan tidak becek.Tapi seringnya absen karena di lokasi kami hampir tidak ada orang. Setiap harinya area itu kosong dan sesekali karyawan yang merawat sawit lewat dengan kendaraannya. Jika suami sedang dinas,otomatis aku hanya sendirian. Aku tak berani kemana-mana karena lokasi sangat sepi dan juga tak ada orang untuk ditemui.
Untuk menuju lokasi rumah staf lain harus menempuh perbukitan sawit berjarak sekitar 2 km. Apalagi untuk keluar ke desa terdekat sekitar 1 jam perjalanan mesti ditempuh. Bagi yang tahu kondisi daerah land clearing kebun sawit pasti tahu bahwa jalan kebun masih tanah dimana jika hujan akan menjadi berlumpur dan susah ditempuh. Dengan motor lapangan merek WIN yang biasa dipakai suami berdinas , kami ke luar kebun sekali seminggu untuk berbelanja ke desa dan saat pulang kanan kiri motor akan penuh dengan gantungan barang. Menyusuri jalan bebatuan dan berlumpur. kami nikmati saja karena kebun minim fasilitas mobil lapangan. Yang ada hanya traktor atau pick up pengangkut pupuk yang kadang menyeberangkan kami pulang jika jalan tak bisa dilewati. Sebelum menikah,aku tidak tahu situasi yang akan kuhadapi namun sebagai anak pertanian, hal ini biasa bagi kami. Inilah kondisi yang pertaa kuhadapi sebagai seorang istri, mendampingi suami dalam kondisi apapun. Mertua menganjurkan tinggal di Pariaman saja, tapi menikah kan untuk mencri pendamping bukan untuk berjauhan, itulah pendapat kami pada masa itu.
Keliistrikan mengandalkan genset. Selama siang hari tidak ada aliran listrik. Genset perusahaan hidup jam 6 sore dan dimatikan otomatis jam 12 malam. Jadi kami sedia lampu minyak untuk mengusir kegelapan sehingga tak mungkin memiliki mesin cuci,kulkas dan perangkat elektrik lainnya. Pada masa itupun handphone masih minim dan tidak ada sinyal di tengah hutan. terbayang lah suasana yang kuhadapi.
Alhamdulillah , sesudah sebulan pernikahan, Sang Maha Pencipta memberi karunia kepadaku berupa rezeki kehamilan anak pertama. Dengan kondisi hamil muda, aku tetap pergi dengan suami keluar kebun sekali seminggu untuk berbelanja atau mencari bidan untuk memeriksakan kandungan. Di tengah goncangan bebatuan jalan kebun, si janin dalam kandungan itu tak berulah. Jangankan flek, rasa sakit atau kram pun tak pernah kurasakan. Hiburan kami adalah buku bacaan yang kami punya. terkadang jika belanja ke kota, aku membeli buku teka teki silang atau koran untuk hiburan selama di rumah. Janin di perutku adalah teman selama sendirian jika suami bekerja. Aku juga mesti menempuh jarak ratusan kilometer untuk mengikuti kajian mingguan (liqo')yang telah kuikuti sejak masih di kampus.
Namun, 2 bulan usia kandungan terjadi kerusuhan di kebun tempat kami tinggal. masalah lama antara masyarakat desa sebelah dengan perusahaan perihal saling klaim lahan baru. Lahan itu adalah lahan berbatasan dengan desa tempat kami berada yang menjadi tanggung jawab tugas suami. Sebenanrya kahir-akhir itu isu kerusuhan sudah terdengar di antara para karyawan namun tidak terduga mereka tak hanya melakukan demonstrasi tapi juga anarkis. Dimana puncaknya, pada suatu sore, ratusan masyarakat yang anarkis datang dari desa dan langsung menuju lahan dimana rumah kami berada. Karena afdeling tempat kami tinggal yang berbatasan langsung dengan desa mereka. Mereka berteriak marah dengan tangan berisi botol berisi minyak tanah dan sumbu kain, menggedor pintu, dan mengusir kami keluar. Suasana sangat kacau dan anarkis dipenuhi orang yang penuh amarah. Mereka mempersekusi rumah perusahaan itu. Setelah aku dan suami diusir keluar, mereka mengeluarkan paksa semua barang kami yang tak seberapa itu(hanya ada 2 kursi plastik, kasur dan dipan, 1 lemari kayu, buku dan peralatan dapur seadanya.) lalu mereka membakar rumah itu di depan mata kami. Beserta motor dinas suami yang biasa kami pakai. Seingatkau, saat kejadian sore itu,hanya ada aku dan suami. tetangga sebelah sudah kabur menyelamatkan diri. Terakhir baru aku tahu ,saat isu akan terjadi demonstrasi hari itu suami langsung pulang mengingatku sendirian di rumah. Sedangkan karyawan lain menyelamatkan diri. Siapa sangka, pendemo datang dari arah hutan dan kamilah sasaran pertamanya.
Saat api berkobar besar di depan mata, kami hanya terduduk di tanah menatap nanar melihat rumah itu menjadi puing-puing dilalap kobaran api.. Tak dipungkiri pasti ada rasa sedih, namun mengingat akan kehamilanku aku harus kuat. Tapi alhamdulillah karena pendemo tidak menyentuh kami. Mereka hanya marah kepada perusahaan dan ingin menghabisi harta milik perusahaan. Sesudah rumah kami habis terbakar, mereka lanjut menuju barak pekerja serta gudang pupuk lalu membakarnya juga.Namun kantor dan perumahan karyawan yang berada di dekatnya tidak sampai menjadi sasaran mereka.
Hari beranjak malam, kami berdua shalat di antara tumpukan barang dan belum makan apapun. Beberapa orang sudah ada yang datang melihat namun tak bisa banyak membantu.Suami berusaha mencari bantuan tapi situasi pusat lebih kacau lagi karena gudang telah dibakar. Suasana kisruh, Bos dan para staf menyelamatkan diri. Di tengah situasi kacau akhiranya kami diselamatkan kenalan yang tinggal di lahan sebelah dengan traktornya dan kami di inapkan di pondok gelap tak berlampu di tengah hutan. Sesudah pagi menjelang barulah kami diungsikan ke tempat lain dengan tempat tinggal seadanya. Situasi kacau di dalam perkebunan membuat suami belum mendapat kepastian akan tugasnya. Perkebunan dijaga pihak kemanan dari kepolisian .Kamipun dikontrakkan rumah di Desa Ujung Gading sembari situasi perusahaan kondusif. Suami pulang pergi dengan mobil perusahaan setiap hari,sedangkan aku tinggal di kontrakan. Sesudah sebulan di Ujung Gading kamipun dipindahkan lagi ke dalam perkebunan. Kami tinggal di lingkungan rumah staf dimana 1 rumah terdiri dari 2 keluarga. Di tengah situasi itu, kehamilanku selalu sehat tak ada keluhan. Setiap bulan kami kontrol ke Ujung Gading dengan tetap melewati jalan kebun yang penuh bebatuan. Jika sore terkadang aku habiskan dengan berjalan kaki di antara perbukitan sawit.
Namun situasi yang belum kondusif, setelah berdiskusi dan mempertimbangkan saran keluarga maka pada Januari 2005 suami yang sejak lama tak betah dengan manajemen perusahaan dan caranya memperlakukan karyawan , memilih resign dari perusahaan itu. Kamipun pulang ke Pariaman dengan tidak membawa apa-apa. Barang bekas kerusuhan tak ada yang bisa diselamatkan. Uang pesangon tak ada, juga uang tabungan. Padahal kehamilan sudah memasuki bulan ke 7. Dengan mengandalkan kebaikan mertua, kami pun tinggal bersama mereka.
Pada pertengahan April 2005 terjadi gempa di Pariaman yang membuat warga termasuk kami mengungsi. Mengingat duka gempa di Aceh tahun 2004 membuat kami trauma. Kami mengungsi di lapangan dan bermai-ramai tinggal di bawah tenda. Pada masa itu aku tinggal menunggu hari perkiraan kelahiran kandungan ini. Ibu mertua heboh mencari bidan terdekat jikalau nanti cucu pertamanya ini lahir di pengungsian. Namun yang ditakutkan tak terjadi. Sesudah 10 hari sejak kejadian mengungsi , Alhamdulillah Wafa lahir di tengah suasana damai pada 23 April 2005 di klinik Ibu Bidan Firdawati di Rawang Pariaman.
Alhamdulillah 'ala kulli haal..dibalik setiap kesulitan akan ada kemudahan. Kenangan semasa tinggal di Pasaman Barat masih sering kami ulang kepada anak-anak. Bahwa Abi uminya pernah tinggal di hutan dan terisolasi. Tak lupa untuk selalu menanamkan rasa banyak bersyukur, karena kami pernah merasakan tinggal di daerah sulit demi mencari rezeki penghidupan ini. Bahwa mudah bagi Allah SWT membolak balik kehidupan sesorang hamba sehingga kita harus selalu sadar diri dan tak boleh terlena jika diberi kesenangan dunia.
Kepada Wafa kami juga bilang bahwa ia hampir saja dinamai 'Sawita' atau 'Sawitri' untuk mengenang indahnya momen di kebun sawit . Iya, kenapa gak jadi ya??
Selamat Hari Lahir buat Putri Shalehah kami, Amirah Shiddiqul Wafa
Terima kasih umi dan abi sudah berjuang keras menjaga dan merawat kakak dari dalam kandungan hingga di usia yang memasuki kepala dua ini. Kakak belajar banyak banget dari pengalaman keras dan pedihnya hidup yang umi dan abi jalani. Mungkin masih banyak dari kakak yang kurang, doakan kakak bisa membanggakan dan jadi anak sholeha umi dan abi selalu ya❤️ Sehat selalu umi abi❤️
BalasHapusSelamat juga kepada umi sudah menjadi ibu selama 20 tahun, terima kasih sudah menjadi umi yang sangat hebat dan keren selama ini❤️