Senin, 01 Juni 2020

Untuk apa perbedaan?

Throwback pada tahun 1998
Aku harus hijrah ke Padang,Sumatera Barat karena qadaruLLAH mendapat kesempatan kuliah di Faperta Universitas Andalas.Daerah baru bagiku,namun kata buku dan info dari ayah mamak bahwa Padang adalah daerah islami.
Aku dipertemukan dengan saudara yang mengajakku tinggal di kontrakan bersama yang dinamai 'wisma'.
Kesan pertama aku tinggal di sana sangat baik dan berharap aku betah tinggal lama. Kami bersepuluh tinggal di 5 kamar.Rumah itu terletak di antara rumah penduduk yang dapat dikategorikan wilayah perkampungan asli penduduk. Tetangga kanan -kiri wisma ramah dan perhatian. Wisma memiliki program-program harian untuk menamba ruhiyah. Bagiku yang melaksanakan islam standar tentu hal yang bagus.Terkadang aku suka terkadang aku bosan dan terkadang aku tertekan akan program rumah disamping kegiatan kampus yang padat.
Untung para senior baik semua dan membiarkan kita mengikut secra perlahan sebisanya.Tidak memaksa. Namun aku segan pastinya
Oiya, sebagai anak baru di sana,aku tidak sendiri.Ada seorang lagi akhwat yang dari Medan namanya Desi.Dibanding aku, Desi sudah aktif di organisasi keislaman sejak di SMA. Dia  baik,semangat,akrab,lucu,jilbabnya lebar namun suka bergaul. Akupun mudah membaur dengan Desi,walaupun sebagai sesama anak baru kadang ingin lebih diperhatikan senior.Biasalah yaa..
Akupun merasa bahwa aku beda dengan Desi.Selain jilbabnya yang lebar aku apalah.Jilbabku seperut saja walupun menutup dada. Kalau  di kampus aku ikut mentoring agama islam, Desi sudah ikut level di atas itu. Dia sudah digabungkan ke grup yang isinya akhwat yang sudah pernah mentoring di SMA. Mereka beragam asal daerahnya.
Kehidupan pun berjalan lancar dan perlahan aku hijrah dalam hal pakaian. Celana sudah berangsur kuganti dengan rok supaya agak 'girly'.Baju ketat sudah perlahan dikurangi memakainya. Karena seiring aku tahu seperti apa syarat pakaian seorang muslimah. Kehidupan di wisma mnenyenangkan.
Namun tak sampai setahun, aku terpaksa pisah rumah dengan Desi.
Desi temanku yang semangat ikut kajian lebih mendalam akan ruhiyahnya dan berimbas pada penampilannya. Jilbabnya yang lebar tak lagi berwarna putih seperti ciri khasnya .Sekarang sudah berwarna gelap dan semakin panjang.Kala kami berbarengan berangkat ke kampus dia sering menutupi muka selain matanya dengan jilbab.

Liburan kenaikan tingkat, aku pulang ke Sidikalang.Sebulan lebih di sana ternyata ada kejadian di wisma.Saat aku kembali, Desi sudah pindah rumah.Aku kaget kenapa dia tidak pamit dan apa alasannya pindah?Perlahan aku tahu ternyata Desi sudah memutuskan pakai cadar.
Aku agak shock pastinya, bukan dengan pilihannya namun kenapa cadarnya menjadikannya terasingkan?banyak tanya di pikiranku saat itu.

Maklum,walaupun asal tinggalku Kabupaten Dairi Sumatera Utara  daerah mayoritas nasrani namun perbedaan di sana bukanlah hal yang menjauhkan pergaulan. Di kota besar seperti Kota Medan banyak kita temui 'tipe'pakaian muslimah sesuai fikih yang ia fahami dan jalankan. Dari jilbab yang standar menutup dada dan bahu, bercadar/niqab,bahkan burqa yang tertutup hingga mata. Semua ada dan mudah ditemui di kampus-kampus. Di Sidikalang juga ada.Aku bertetangga dengan keluarga yang kajian Jama'ah Tabligh dimana semua anak perempuannya ber-niqab. Dan itu tidak menghalangi mereka bersosialisasi dengan sesaama muslim bahkan non-muslim. Aku pun dekat dengan mereka. Itulah perbedaan faham masing-masing yang boleh kita sebarkan pada orang dengan cara ahsan  namun tidak memaksa dan tidak menjauhi jika ditolak.Bukankah begitu? itulah prinsipku pada masa itu sebagai anak baru tinggal di wisma. Dengan perbedaan agama saja kita bisa hidup berdampingan kenapa dengan saudara seiman hanya karena masalah pilihan pakaian?Apalagi ini di Padang lho..yang masyarakatnya mayoritas islam. Kenapa tidak bisa menerima?
Seingatku,aku pernah protes tapi lebih sering protes dalam diam. Namun kecewaku lebih kepada temanku Desi tidak tinggal dengan kami lagi.Dia pindah ke wisma yang sama kajian dengannya.

Perlahan aku memahami alasan para akhwat seniorku. Karena di Sumbar ini dahulunya pernah terjadi kejadian yang mencoreng citra orang bercadar sehingga dianggap sesat. Ditambah lagi rumah wisma kami di tengah warga yang masih trauma kejadian itu dan protes. Akhwat memikirkan bagaimana efek tidak sampai meluas. Di wisma pun sudah mulai tampak beda dia dengan pola akhwat wisma.Aku tak tahu persis kejadian apa itu namun tak kurang tak lebih masalah fikih yang berbeda.
sebagai anak baru yang  banyak tanya akupun berusaha tak memperdulikannya lagi.
Namun di kampus aku masih ketemu Desi karena kami sering kuliah di kelas bersebelahan. Bagiku itu lah drama dan realita yang terpaksa kualami sehingga menimbulkan tanya dan memberi pemahaman baru. Masalah mau melaksanakan yang mana ya tergantung pemahaman dan keyakinan kita.

Akhir pertemuanku dengan Desi ternyata terlalu cepat terjadi. Desi memutuskan berhenti kuliah dan pulang kampung ke Pangkalan Susu,kampung halamannya. Dan sampai kini aku tak pernah bertemu,kucari akunnya di facebook namun tak kunjung bertemu. Suara dan ketawa Desi masih terngiang di telingaku.
semoga suatu saat aku bisa ketemu Dessy Wahyu Diana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang abadi dalam do'aku

 Kepada lelaki yang telah berada di sisiku 21 tahun, aku bercerita tentang seorang lelaki yang selalu di hatiku selama 46 tahun ini. Dia aya...