Senin, 16 Mei 2011

Kenangan di Pasaman


Agustus 2004,aku menyusul suamiku untuk menetap di Pasaman.setelah resmi mengikatkan pernikahan tentu saja aku harus selalu ada bersamanya dalam segala kondisi.Walaupun ditawarkan untuk tinggal disebuah pemukiman dekat perkotaan,aku memilih untuk mengikutinya tinggal di hutan.Hutan??....ya..hutan.mungkin kata itu yang tepat untuk melukiskan lokasi baru yang kutemui.Bukan hutan dalam artian sebenarnya.karena di sana tak ada pohon besar dan tinggi ataupun binatang  buasnya.Sejauh mata memandang dari perbukitan perumahan staf,yang tampak hanya pepohonan sawit yang baru berumur setahun dan belum dipanen buah pasirnya.Menurut infonya sih,luas afdeling yang menjadi tanggung jawab suamiku sekitar 1200 ha.Seluas apa itu ya??.Karena lahan ini merupakan Land Clearing maka belum terdapat yang namanya pabrik pengolahan sawit atau pemukiman ramai dan ..tempat belanja!So,untuk membeli kebutuhan sekali seminggu memborong ke sebuah kota kecil,Ujung Gading yang berjarak sekitar 30 km dari lokasi kami tinggal. Membayangkan serta merasakan tinggal di sebuah afdeling yang terdiri dari 4 buah rumah staf dan 1 barak pekerja tak terasa menjadi beban bagiku.Sebagai lulusan Fak.Pertanian yang biasa tugas ke ladang (ehm...)ini kurasakan sebagai sebuah tempaan.Hanya bedanya, bukan lahan petani konvensional namun lahannya para kapitalis.
Hingga,saat aku baru tinggal sebulan di sana tibalah saat mengejutkan itu.Isu-isu beberapa minggu terakhir,demonstrasi masyarakat desa sebelah akhirnya terjadi juga.
Siang jam 11,saat suamiku pulang ke mess.Waktu  untuk makan siang masih jauh,ternyata dia membawa berita bahwa isunya akan ada serangan dari massa.Belum lama kami berdiskusi kemungkinan itu,dari bukit belakang rumah terdengar suara sorak sorai.Aku sontak mengintip dari lubang angin di kamar mandi dan sangat terkejut melihat banyaknya orang menuruni bukit dengan wajah amarah dengan parang terancung di tangan!

Astaghfirullah....lututku gemetar langsung aku memberitahu suamiku.Belum sempat dia melihat,pintu rumah digedor kuat diiringi sorak-sorai mereka berkumpul.Dengan berani dia membuka pintu dan bertanya dengan tenang kepada bapak-bapak yang mungkin jumlahnya ada 50 orang itu.Tapi,namanya menghadapi singa marah,mereka tak peduli penjelasan, kami diperintahkannya mengeluarkan semua barang-barang kami karena rumah akan di bakar!.
Anehnya ,melihat mereka masuk ke rumah....membantu mengeluarkan barang kami yang tak seberapa...ketakutanku berkurang.Kumasuki kamar dan kutumpahkan semua barang yang dianggap penting ke atas sprei dan kugulung semuanya dalam ikatan sprei.Kuseret keluar,para demonstran membantu mengeluarkan tempat tidur.Sebenarnya sih nggak mengeluarkan namanya tapi merusaknya.Mana coba,tempat tidur di patah 4 lalu dilemparkan keluar.Kupandangi dipan baru itu dengan sedih...duh...dipan nasibmu kini.
Seorang demonstran yang sudah agak tua mengatakan:
"tidak usah takut ibu,kami tidak akan melukai para karyawan.Kami hanya marah ke perusahaan yang telah merampas lahan kami tanpa kejelasan"
Lalu bapak tersebut menjangkau lubang angin kamar dan memberi kepadaku sesuatu.
"Ini dompet ibu..hampir ketinggalan"katanya.duh...Rabbi ini bukan dompet tapi Al-Qur;an yang pakai sampul persis dompet.
Saat semua barang telah keluar rumah,dengan beringas mereka melempari rumah dengan "bom" botol isi minyak tanah yang telah dipersiapkannya.
Api pun membumbung membakar 4 rumah staf yang berjejer.Tak membutuhkan waktu lama menghabiskannya karena bangunan itu semi permanen.
Saat itulah segala kesedihanku memuncak,dan... aku menangis.Bukan menangisi rumah tersebut tapi menangisi sebuah anarkisme yang membuat matahati tertutupi.
Saat mereka akan beranjak menuju barak karyawan yang terletak 200 meter di depan rumah kami,seseorang dari mereka melemparkan bom yang tersisa ke arah motor dinas suamiku.Api pun membakar dan tak ada yang berani memadamkannya karena takut meledak.Kami hanya menatap dengan tergugu.Saat itulah kami dan para karyawan yang kebanyakan dari pulau Nias berkumpul di antara onggokan bara kayu yang mulai menyisakan asap.Kemana kami akan pergi.??

Di tengah kekacauan,kami shalat Zuhur di antara puing-puing.Aku hanya bisa mengelus janin di perutku yang baru berusia 1 bulan.
"Sabar ya nak..ini cobaan bagi kita agar kita bisa lebih kuat lagi.Umi janji nggak akan sedih agar anak umi nggak sedih juga."
Waktu pun menuju malam,kami ditampung di sebuah pondok tak berlampu milik seorang operator alat berat yang agak tersembunyi.karena kantor perusahaan dan rumah para GM  mereka bakar juga....Si Mister(biasa kami menyebut si manejer) pun di selamatkan ke luar kebun oleh satpam.Karena kalau tidak,bisa jadi sate tuh Mister karena dia malah sembunyi di rumahnya.

Persoalan pun makin rumit karena para demonstran "Hilang satu-satu tengah malam".Tentu saja,para intel telah disebarkan di desa sebelah.
Densus....eh...Brimob..eh..apalah gitu petugas yang berpakaian loreng2 berjaga siang malam  di areal perusahaan menjaga kantor yang sudah rata diiringi aroma pupuk hangus dari eks.gudang yang telah menjadi arang.
Saat itu kami memutuskan mencari kontrakan di Ujung Gading,dan menjadi cemas ketika malam suami agak terlambat pulang karena takut "hilang "juga.Karena banyak isu berseliweran,termasuk penangkapan balik demonstran terhadap karyawan kebun.Saat itu hanya Allah lah tempat mengadu di tengah ketidak pastian.Tapi ternyata dia sering terlambat pulang karena menanti tumpangan karena kendaraan andalannya telah tewas terpanggang.:(
Walaupun di tawarkan untuk pulang sementara ke rumah mertua,aku tetap ingin tinggal di sana.
Kabar yang kudengar,saat kejadian sebenarnya para staf mencari selamat masing2 karena takut dijadikan sasaran tapi suamiku malah pulang mendampingiku.Takut terjadi apa-apa dengan diriku.Dan akupun tak ingin meninggalkannya saat seperti ini. 
Walaupun kejadian ini sekarang menjadi sekedar kenangan,namun banyak hikmah yang bisa kupetik.salah satunya:nyata benar konflik ini dilatari kepentingan banyak pihak.Banyak konspirasi di dalamnya.Tak peduli mengorbankan orang,memutarbalikkan keadaan dan akhirnya petani kecillah yang menjadi korban dari kepentingan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme...(eehh...kok kayak pelajaran sejarah smu ya?).
Kenapa saat itu hatiku berpihak kepada petani-petani itu? mereka yang telah bertahun-tahun bekerja menjadikan hutan menjadi sebuah keceriaan.Mereka yang rela di transmigrasi dari kampung halamannya untuk sebuah penghidupan.Semangat mereka mempertahankan tanah garapannya kalah oleh rumitnya sebuah  HGU *Hak Guna Usaha*.
Tapi,inilah ternyata yang mesti terjadi.Usaha pendampingan hukum bagi mereka tak semulus keinginan semua.Masyarakat terkesan berani-berani takut.Tapi sebenarnya mesti ada pendampingan bagi pembelaan hak-hak mereka.
Tapi inilah yang mesti terjadi.Lahan yang mereka kelola dengan bebasnya dianggap terlarang untuk dilanjutkan pengelolannya karena akan merusak hutan,namun tak terlarang jika pengelolaan tersebut diserahkan kepada Perusahaan perkebunan.
Kasus seperti ini sering terjadi kepada petani-petani kita di daerah mana saja.Namun,yang menggembirakan,mereka tak sedikit yang mati-matian menyekolahkan anaknya setinggi-tingginya dengan harapan akan menjadi pencerah bagi lingkungannya.Mengabdi dan membangun desanya menjadi semakin maju dan diperhitungkan.
dan,di sinilah aku sekarang....mengenang secuil kisah kenangan yang menginspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang abadi dalam do'aku

 Kepada lelaki yang telah berada di sisiku 21 tahun, aku bercerita tentang seorang lelaki yang selalu di hatiku selama 46 tahun ini. Dia aya...