Jumat, 11 Desember 2015

Kenapa denganmu D ?



Kenapa denganmu D ??

Sebuah kabar menyedihkan kuterima pagi itu
Saat proses pembelajaran  PAUD ALBANA hari itu selesai,sambil menunggu anak-anak dijemput orangtuanya.Salah seorang wali murid yang hendak menjemput anaknya bercerita,saat di perjalanan menuju ke sini dia berpapasan dengan ‘D’,seorang anak klas 1 SD yang pernah belajar di Paud Albana 2 tahun yang lalu.Dilihatnya,’D’  sedang menangis terisak sambil terduduk di tepi jalan.Masih dengan seragam sekolahnya. Wali murid tadi mengenal ‘D’ karena dia berteman dengan ibu D.Sesudah ditanya dengan cara baik-baik,D bercerita bahwa ia takut pulang ke rumah.Sebabnya adalah,tadi hasil ulangannya mendapat nilai 4.Dia takut pulang,karena ibunya mengancam akan memukulnya jika nilainya rendah. Wali murid tadi berusaha membujuk D untuk diantar pulang dan dibantu menjelaskan ke ibunya tentang nilainya.Tapi D tetap tidak mau dan bertahan di tepi jalan.

Sesak rasanya dada mendengarkan cerita tadi.Sesak dan juga geram pada perilaku orangtua seperti itu.Dengan ambisinya agar anak pintar tetapi dengan cara pemaksaan.Masih banyak orangtua-orangtua seperti ini di sekitar kita.Menerapkan punishment tidak pada tempat dan masanya.
Ambisi  orangtua D memang tampak saat D belajar di Paud Albana. Ketika akhir tahun pembelajaran,dia meminta agar anaknya diluluskan dan diberi ijazah karena menurutnya D akan dimasukkan ke SD.Karena usianya belum genap 6 tahun (sesuai persyaratan dari pemerintah untuk syarat masuk SD).Dan menurut pemantauan kami pada perkembangan kematangan D selama di paud,terlalu dini memasukkan D ke SD karena beberapa kemampuannya belum tercapai.Akhirnya D dipindahkan orangtuanya ke TK lain karena sesudah di bawa mendaftar ke SD,pihak SD pun belum mau menerima.
Kini D sudah SD. Dan dia mengalami perlakuan ini.
Semua orangtua ingin anaknya pintar,cerdas.Orangtua manapun pasti menginginkan hal serupa.Tapi mungkin,cara yang kita lakukan terlalu menyamakan standar.Kita ingin anak kita seperti anak si Anu,anak si Inu,anak si Una padahal tiap anak berbeda kemampuannya.Dan kemampuan itu bisa ditingkatkan jika diiringi dengan  stimulus yang tepat dan suasana belajar yang menyenangkan.
Bagaimana belajar anak akan menyenangkan jika dia diancam hanya karena nilai-nilai yang jadi standar kebanyakan orangtua??Bukankah dia akan trauma dan menganggap proses belajar menjadi sesuatu yang menakutkan??Apakah nilai kepintaran hanya ditunjukkan pada selembar kertas hasil ujian??
Ketika hendak pulang menuju rumah,dari spion angkutan yang melaju kencang aku menangkap sosok itu,D yang berjalan pelan sambil tertunduk.Mungkin di dadanya penuh dengan ketakutan menunggu ancaman apa yang akan diterima di rumah.Aku hanya mampu mengikuti bayangannya menjauh dari pandangan,dengan tekad suatu waktu akan mendatangi orangtuanya secepatnya,seblum timbul masalah yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang abadi dalam do'aku

 Kepada lelaki yang telah berada di sisiku 21 tahun, aku bercerita tentang seorang lelaki yang selalu di hatiku selama 46 tahun ini. Dia aya...